Hadits dan Hubungannya dengan Al-Qur’an

Jumat, 07 Desember 20120 komentar

Hadits dan Hubungannya dengan Al-Qur’an


Oleh : M Junaidi Sahal

Meneliti kebenaran suatu berita merupakan bagian dari upaya membenarkan yang benar dan membatalkan yang batil. Kaum muslimin sangat besar perhatiannya dalam segi ini, baik untuk penetapan suatu pengetahuan atau pengambilan suatu dalil. Apalagi jika hal itu berkaitan dengan riwayat hidup Nabi mereka atau ucapan dan perbuatan yang dinisbatkan kepada beliau.
Dalam pada itu hanya satu jalan saja untuk mencapai keridhaan Allah SWT dan mendapatkan kecintaan-Nya, yaitu mengikuti jejak Muhammad Saw dan berjalan di atas sunnah beliau. Sebagaimana difirmankan Allah SWT : Ketahuilah, jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad). Niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian .… (Q.S. Ali-‘Imran : 31)
Sejak masa-masa yang lama sekali, umat kita memelihara peninggalan Nabi Saw, menjaganya dari segala persangkaan negatif dan menganggap kebohongan yang dilakukan oleh siapa saja berkaitan dengan beliau sebagai jalan menuju adzab kekal di neraka. Hal ini mengingat bahwa yang demikian itu adalah bagian dari pemalsuan terhadap agama serta pendustaan keji terhadap Allah dan rasul-Nya. Sabda Nabi Saw. : Kebohongan yang dilakukan berkaitan dengan aku (yakni tentang ucapan dan perbuatan beliau) tidaklah sama dengan kebohongan yang berkaitan dengan siapapun selain aku. Barangsiapa berbohong tentang aku secara sengaja, hendaknya ia bersiap-siap menduduki tempatnya di neraka

Para ulama ahli hadits telah menetapkan lima persyaratan untuk menerima baik hadits-hadits Nabi Saw; tiga diantaranya berkenaan dengan sanad (mata rantai para perawi) dan dua yang lain berkenaan dengan matan (materi hadits) :
  • Setiap perawi dalam sanad suatu hadits haruslah seorang yang dikenal sebagai penghafal yang cerdas dan teliti serta benar-benar memahami apa yang didengarnya. Kemudian ia meriwayatkannya setelah itu, tetapi tetap seperti aslinya.
  • Disamping kecerdasan yang dimilikinya, ia juga harus seorang yang mantap kepribadiannya dan bertakwa kepada Allah serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan atau penyimpangan
  • Kedua sifat tersebut di atas (butir 1 dan 2) harus dimiliki oleh masing-masing perawi dalam seluruh rangkaian para perawi suatu hadits. Jika tidak terpenuhi pada diri seorang saja dari mereka, maka hadits itu tidak dianggap mencapai derajat shahih.
  • Mengenai matan (materi) hadits itu sendiri, ia harus tidak bersifat syadz (yakni salah seorang perawi lainnya yang dianggap lebih akurat dan lebih dapat dipercaya)
  • Hadits tersebut harus bersih dari illah qodihah (yakni cacat yang diketahui oleh para ahli hadits, sedemikian sehingga mereka menolaknya)
Persyaratan-persyaratan tersebut cukup menjamin ketelitian dalam penulisan serta penerimaan suatu berita tentang Nabi Saw. Kita berani menyatakan bahwa dalam sejarah peradaban manusia tidak pernah dijumpai contoh ketelitian dan kehati-hatian yang menyamainya. Namun, yang lebih penting lagi adalah kemampuan yang cukup untuk mempraktekkan persyaratan-persyaratan tersebut.
Sehingga amat banyak ulama yang beranggapan bahwa peranan hukum-hukum dalam Islam banyak ditentukan oleh hadits disamping Al-Qur’an. Itulah mengapa kemudian Al-Qur’an dan hadits dijadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam Islam.
Peranan dan Fungsi Hadits Dalam Al-Qur’an
Sebenarnya banyak kalangan orientalis yang menghendaki umat Islam itu menjauhi hadits. Mereka beranggapan bahwa penentuan hukum harus langsung kepada Al-Qur’an. Karena hadits-hadits itu banyak yang palsu. Bahkan hadits shahih Bukhoriy dianggap bukan asli tulisan Bukhoriy, namun itu tulisan ulama-ulama yang tidak bertanggungjawab.
Point utama yang mereka harapkan adalah jauhnya umat Islam dari hukum-hukum Islam, karena ketika umat tidak menerima hadits, maka sama saja umat tidak mau menjalankan sebagian besar hukum-hukum Islam. Hal itu disebabkan karena Al-Qur’an itu masih bersifat global dan haditslah yang memerincinya.
Para ulama telah meneliti bahwa antara Al-Qur’an dan hadits memiliki hubungan yang sangat erat dan saling memiliki keterkaitan. Di sini penulis berusaha memaparkan sedikit tentang fungsi hadits terhadap Al-Qur’an sebagai berikut :
Memperkuat posisi hukum yang ada dalam Al-Qur’an, misalnya hadits Rasulullah Saw : "Sesungguhnya Allah menguburkan kedloliman pada orang dlolim. Ketika ia mengadzabnya, maka Ia tidak melepaskannya". Hadits ini bersesuaian dengan firman Allah Q.S. Hud : 102 : "Dan begitulah adzab Tuhanmu apabila dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat dlolim …"
Menjelaskan hal-hal yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an. Pada point ini ada beberapa macam :
Penjelasan pada hal-hal yang global dalam Al-Qur’an, seperti penjelasan tata cara sholat, waktu-waktu sholat, syarat-syarat sahnya, dan sebagainya. Dimana dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan secara terperinci
Memberikan batasan yang bersifat mutlak, seperti hadits yang menjelaskan kalimat Al-yad (tangan) pada Al-Qur’an Q.S. Al-Maidah ayat 38 : "… maka potonglah tangan keduanya" dijelaskan bahwa pemotongan sampai pergelangan tangan, bukan sampai siku
Mengkhususkan ayat-ayat yang masih bersifat umum, seperti hadits yang menjelaskan maksud kedloliman pada ayat Q.S. Al-An’am : 82 : "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan keimanannya pada hal yang bersifat dlolim …" dengan kesyirikan.
Menjelaskan hal-hal yang masih musykil, seperti kalimat Al-Khoith : benang pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 187. Hadits menjelaskan bahwa yang dimaksud Al-Khoith itu adalah siang hari dan malam hari
Bisa jadi hadits menjelaskan hal-hal tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an. Dalam persoalan ini DR. Taufiq Sidqi membantah bahwa Al-Qur’an sangat terperinci dan tidak perlu lagi dijelaskan oleh hadits. Dan penulis menganggap hal itu tidak benar, karena meskipun Al-Qur’an sendiri mengatakan bahwa ia telah memerinci dan menjelaskan segala persoalan (Q.S. Al-An’am : 38 dan Q.S. An-Nahl : 89) namun ketika Allah mengutus Rasul-Nya tetap ia diberi wewenang untuk menjelaskannya. Dan penjelasan Nabi bagi Allah adalah sebagai penjelasan Allah juga. Lihat Q.S. An-Nahl : 44 dan 89. Istilah Al-Bayan (Tibyan) pada ayat-ayat di atas juga bisa bermakna menjelaskan apa yang tidak dinashkan dalam Al-Qur’an.
Contoh : hadits-hadits yang menjelaskan tentang haramnya menikahi sekaligus dengan bibinya dan haramnya makan hewan / daging khimar yang liar dan keduanya tidak dinashkan dalam Al-Qur’an.
Demikian penjelasan singkat yang menegaskan bahwa posisi hadits sangat penting dalam pengejawantahan Al-Qur’an pada hukum-hukum Islam. Dan hal itu terangkum dalam firman Allah Q.S. An-Nahl : 44 : "Dan Kami telah turunkan kepadamu tuntunan agar engkau menjelaskan kepada orang-orang tentang apa yang diturunkan kepada mereka"
Penutup
Jadi jelaslah bahwa Rasulullah Saw diperintahkan untuk menjelaskan Al-Qur’an kepada umat manusia, sedangkan dalam sholat, zakat, haji dan lain sebagainya di Al-Qur’an dicantumkan secara garis besar. Dari bunyi lafadl-nya tidak dapat diketahui apa yang sebenarnya diharuskan Allah kepada kita. Oleh karena itu dilengkapi dengan penjelasan dari Nabi Saw. Sekiranya penjelasan tersebut tidak dijamin keutuhannya tidak mungkin digunakan untuk menafsirkan nash Al-Qur’an. Dengan demikian sebagian besar syari’at yang difardhukan kepada kita akan gugur dan tidak akan mengetahui apa yang sebenarnya yang dikehendaki Allah SWT dengan ayat-ayat tersebut.
Wa Allahu A’lamu

Ya Allah, jadikanlah aku termasul Al Kayyis

Share this article :

Posting Komentar

 
TEMPLATE ASWAJA| MI Al Qur'an Al Kayyis - All Rights Reserved
Supported : MADINATULIMAN.COM | Creating Website | Johny dan Mas Themes